Migitasi Bencana Alam Bagi Penyandang Disabilitas dan OYPMK

 

Akhir-akhir ini, Indonesia sedang dilanda musibah terutama gempa bumi. Kurangnya pengetahuan tentang migitasi bencana alam, menyebabkan warga kehilangan baik materi maupun non materi. Pada tanggal 29 November 2022, di You tube dan di channel KBR.id membahas tentang Penanggulan Bencana Inklusif Bagi OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta) dan Penyandang Disabilitas termasuk yang terjadi di Cianjur.

Dengan pembicara :

Drs. Pangarso Suryatomo, selaku Direktur Direkto Kesiapsiagaan BNPB dan

Bejo Riyanto, selaku Ketua Konsorsium Disabilitas dan Kusta (PELITA), Disabilitas Terdampak Bencana.

“Bencana boleh banyak, permasalahannya bagaimana kita berupaya agar tidak banyak jatuh korban, dan itu butuh kesiapan bersama” Drs. Pangarso Suryatomo. Kalimat ini, menyadarkan kita pentingnya migatasi bencana agar kita bisa untuk tanggap dan waspada apabila bencana alam terjadi. Sayangnya, Indonesia kurangnya kesadaran untuk tanggap bencana walaupun kita rawan bencana karena kita di kelilingi oleh cincin api.

Apalagi Drs. Pangarso Suryatomo atau menambahkan, bahwa Indonesia adalah Negara 10 besar dengan korban yang meninggal terbesar akan bencana alam. Sehingga, kita harus bergerak untuk migitasi bencana dan penanggulan bencana. Dari website BNPB, selama tahun 2022 sejak Januari hingga November telah terjadi 3294 bencana alam dan 24 diantaranya karena factor tektonik, sisanya meteorology dan cuaca.

Bejo Riyanto bercerita tentang pengalamannya, saat wilayahnya Yogyakarta terkena gempa yang dahsyat pada tahun 2006. Ia bercerita, hamper semua rumahnya rusak dan rata dengan tanah. Karena, jarak dari pusat gempa berjarak 1 km. dan juga menmbahkan, tahun 2004 terjadi Tsunami di Aceh, dalam pikirnya “seandainya saat itu ia berada di sana”. Hal inilah, mengapa pentingnya para penyandang disabilitas dan OYPMK harus memiliki pengatuhan tentang migitasi bencana.

Penanggulan bencana, tidak hanya terjadi kepada manusia normal saja tetapi juga para penyandang disabilitas dan OYPMK. BNPB tidak pernah membeda-bedakan Antara manusia yang normal dengan para penyandang disabilitas dan OYPMK. Hanya saja, kurangnya data menyebabkan pihak BNPB kesulitan upaya migitasi bencana terhadap mereka.

Di sisi lain sejak 2014, BNPB sebagai institusi pemerintah yang bergerak di bidang penanggulan bencana telah membuat PERKA No. 14 tahun 2014 untuk memastikan 3 (hal) yang harus terpenuhi untuk penyandang disabilitas ketika mengalami bencana :

1.       Pertolongan, upaya ini adalah prosedur pertama yang dilakukan saat terjadi bencana. Mereka juga termasuk orang-orang yang diberi prioritas.

2.       Partisipasi, tak hanya sebagai objek mereka para disabilitas berharap untuk dilibatkan. Artinya, para disabilitas dan PERKA OYPMK juga dapat berpartisipasi dalam upaya tanggap kebencanaan.

3.       Perlindungan, hak perlindungan yang aman bagi OYPMK dan penyandang disabilitas juga diberikan. Semua pihak baik pemerintah dan masyarakat wajib memberikan perlindungan kepada bencana alam, termasuk disabilitas.

Penyadang disabilitas dan OYPMK, harus di libatkan dan diberikan informasi tentang tanggap bencana. Seperti contohnya Difagana (Difabel Siaga Bencana) di Yogyakarta, mejadi wadah para penyandang disabilitas mendapatkan pengetahuan tentang risiko bencana, proses penyelamatan, evakuasi dalam bencana, dll. Selain Difagama, di Jawa Tengah ada LIDI (Layanan Inklusi Disabilitas) yang mengidenfikasi jumlah penyandang disabilitas dalam penanganan bencana.

Dan kita juga harus tanggap akan bencana, dan dalam bencana kita tidak perlu membeda-bedakan dalam penanganan korban. Baik manusia normal, penyandang disabilitas, bahkan OYPMK kita harus mempunyai pengetahuan migitasi bencana agar bisa waspada bila bencana datang.

 

 

Comments